Hak Asuh Anak Dalam Perceraian
Masalah utama yang menjadi pertimbangan bagi pasangan suami-isteri ketika bercerai adalah apabila sudah ada anak sebagai buah hati kasih mereka. Anak yang bagi beberapa kalangan seakan menjadi beban, namun kenyataan membuktikan bahwa kebanyakan pasangan cerai sangat menginginkan untuk mendapatkan hak asuh atas anak-anak tersebut.
Sampai saat ini belum ada aturan yang jelas dan tegas bagi hakim pengadilan untuk memutuskan siapa yang berhak atas “hak asuh anak” dalam perkara perceraian ini, apakah ayah atau ibu. Jadi tidak heran jika banyak permasalahan dalam kasus “perebutan hak asuh anak”, Namun, dari sedikit aturan yang ada, terdapat acuan bagi hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan hak asuh anak yakni dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 yang menyatakan, “Dalam hal terjadi perceraian : 1) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. 2) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan. 3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”
Dalam praktik di Pengadilan Agama, hakim biasanya akan merujuk pada aturan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengasuhan anak dalam konsep KHI dikenal dengan istilah hak hadhonah (pemeliharaan anak). Hak hadhonah adalah hak untuk mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa, menikah atau mampu sendiri. KHI membuat konsep bahwa hak hadhonah bagi anak pada dasarnya lebih ditekankan pada kepentingan psikologis si anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun, yang pastinya masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu.
Dengan adanya konsep hak hadhonah dalam KHI tentunya dapat membantu seorang ibu untuk mendapatkan hak asuh anaknya. Namun demikian ketentuan ini tidak berlaku mutlak karena dalam Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwasanya hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memerhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Jadi hakim harus mempertimbangkan sungguh-sungguh apakah si ibu layak mendapatkan hak untuk mengasuh anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun.
Jadi didasarkan pengertiannya, maka konsep hak hadhonah dalam KHI tidak jauh berbeda dengan konsep perlindungan sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku umum yakni tetap harus memerhatikan perilaku dari orang tua tersebut (misal si ibu tidak bekerja sampai larut malam, lebih mengutamakan kedekatan kepada si anak dibandingkan kesibukan di luar rumah, dan sebagainya), serta hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi, mupun nonmateri.
Begitu pula ada aturan dalam Pasal 41 huruf (a) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa : “Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.”
Perlu diketahui bahwa dalam pengajuan permohonan hak asuh anak dapat diajukan sekaligus dengan permohonan / gugatan cerai kepada Pengadilan. Jadi dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinan itu putus karena perceraian, maka salah satu pihak juga dapat memohonkan agar diberikan hak asuh atas anak-anak (yang masih di bawah umur) yang lahir dari perkawinan tersebut.
Perlu digarisbawahi sekali lagi bahwa dalam kasus “perebutan hak asuh anak” ini tetap mesti didasari demi kepentingan dan pemenuhan kebutuhan si anak. Harus dipahami bahwa pasca perceraian, secara umum anak berhak mendapat kasih sayang, meskipun orang tua sudah bercerai, anak harus tetap mendapatkan kasih sayang dan anak berhak menentukan dengan siapa dia akan tinggal. Anak juga wajib mendapatkan pendidikan, perhatian kesehatan dan tempat tinggal yang layak. Unsur tersebut harus dipenuhi oleh orang tua terhadap anak, jika mereka bercerai.